Media sosial yakni satu-satunya ruang diskusi di mana kaum LGBTQ+ di Irak dapat saling berbicara secara terbuka perihal identitas seksual.
\\”Sebelum adanya Instagram, klasifikasi minoritas seksual harus memakai akun anonim di Facebook dan grup rahasia untuk dapat saling berkenalan,\\” kata Khalid, mahasiswa 22 tahun di Provinsi Babilonia terhadap DW.
Dengan fitur bercerita cuma terhadap teman dekat di Instagram, pengerjaannya kian gampang untuk mendapatkan teman atau bahkan menemukan cinta.\\”
Kebudayaan konservatif menyokong klasifikasi minoritas seksual untuk sembunyi. Bermacam-macam survey di Timur Tengah menyimpulkan tingkat penerimaan masyarakat yang cuma sebesar 10 persen terhadap homoseksualitas, dikutip dari DW Indonesia, Kamis (9/5/2024).
\\”Jadi media sosial menjadi platform utama untuk berekspresi di sini, lebih-lebih bagi mereka yang tak memiliki ruang sendiri,” tutur Ayaz Shalal Kado, direktur eksekutif organisasi hak asasi manusia Irak, IraQueer.
\\”Mereka yakni klasifikasi rentan, seperti kelompok sosial LGBTQ+, penyandang disabilitas dan lainnya. Media sosial yakni cara bagi mereka untuk mengekspresikan diri, terkoneksi dan membangun kelompok sosial,\\” ujarnya.
Tapi demikian itu, media sosial tak cuma menawarkan ruang aman, namun juga dapat menimbulkan bahaya, kata Human Rights Watch permulaan tahun ini, dikala meluncurkan kampanye Secure Our Socials. Via kerja sama dengan organisasi HAM setempat, HRW melaporkan bagaimana kegiatan komputerisasi diterapkan oleh negara-negara tiranis untuk mengkriminalisasi klasifikasi minoritas seksual.
Ancaman Komputerisasi
Ancaman tersebut lebih-lebih dikhawatirkan kian marak di Irak. Meski ramai ditolak, perilaku seksual mahjong slot sesama jenis tak diharamkan di beberapa besar negara-negara di Timur Tengah.
Di Irak, pemerintah selama ini memakai UU Anti-Pencabulan untuk menghukum member kelompok sosial LGBTQ+. Tapi pada akhir April, pemerintah di Baghdad mengamandemen UU Anti-Prostitusi yang melarang semua bentuk perilaku homoseksualitas atau transeksualitas dengan ancaman penjara 15 tahun.
Adapun, mereka yang didakwa \\”mempromosikan\\” homoseksualitas dapat didenda hingga 15 juta dinar Irak atau sekitar Rp180 juta.
Amandemen tersebut diputuskan setelah Komisi Penyiaran Irak mengeluarkan undang-undang pada Agustus 2023 yang melarang istilah \\”homoseksualitas” dan menggantinya dengan frasa \\”penyimpangan seksual.\\” Media juga tak diizinkan membahas isu \\”gender\\”.
Menurut media lokal Rudaw, member parlemen Irak bersikeras bahwa mereka memerlukan amandemen tersebut \\”untuk melindungi masyarakat Irak dari kemerosotan budi pekerti,\\” sebagaimana tertulis dalam teks amandemen tersebut.
\\”Sebetulnya, undang-undang ini bukanlah hal baru sama sekali,\\” kata Khalid. \\”Kami selalu hidup dalam ketakutan dan persembunyian,\\” cuma saja sekarang bertambah hal-hal yang perlu dikhawatirkan, katanya terhadap DW.
Kritik Internasional
Amandemen di Irak dikritik secara luas oleh organisasi internasional dan negara sekutu. Misi Bantuan PBB untuk Irak mengatakan, legislasi tersebut bertentangan dengan sejumlah perjanjian hak asasi manusia yang sudah diratifikasi oleh Irak. Departemen Luar Negeri AS berpendapat undang-undang baru ini dapat diterapkan untuk \\”lebih menghambat kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta menghambat operasi organisasi non-pemerintah di semua Irak.\\”
Institusi swadaya di Irak masih mencari cara untuk menanggapi amndemen UU Anti-Prostitusi. Salah satu organisasi hak asasi manusia di Irak, Gala for LGBTQ, mengimbau masyarakat internet untuk menggembok akun pribadi, tak lagi meniru akun-akun queer secara terbuka dan menghapus materi komputerisasi yang dianggap ramah LGBTQ+.
\\”Kalau Anda berada di Irak, lebih baik tak membicarakan atau mempublikasikan perihal kelompok sosial LGBTQ+ dan serahkan hal ini terhadap orang-orang yang berada di luar Irak,” rekomendasi organisasi tersebut.
Ada banyak cara untuk melawan dan itulah yang sedang dilaksanakan kelompok sosial dikala ini,” kata Kado dari IraQueer terhadap DW. \\”Keselamatan dan keamanan yakni prioritas tertinggi. Tapi kami tak akan menyerah. Dampak bukanlah suatu pilihan.”
Kado mengaku khawatir, absensi kelompok sosial LGBTQ+ di media sosial Irak akan punah, seiring bertambahnya ancaman keselamatan di ruang komputerisasi.
Setiap Luas terhadap Hak Sipil
Melarang pengaplikasian istilah ‘homoseksual\\’ atau ‘gender\\’ yakni sebuah kemunduran yang besar, dan bukan cuma untuk kaum queer,” kata Kado. \\”Ada banyak titik-temu yang tak cuma berpengaruh pada organisasi saya, namun juga semua organisasi feminis, semua yang bekerja untuk hak-hak perempuan, dan mereka yang konsentrasi pada kesetaraan gender dan hak-hak tubuh secara biasa.\\”
Ada juga kasus-kasus lain di mana media sosial menjadi berbahaya di Irak. Pada akhir pekan yang sama dikala pemerintah Irak mengesahkan undang-undang baru LGBTQ+, seorang influencer populer Irak, Ghufran Mahdi Sawadi, dibunuh oleh penyerang tak dikenal di luar rumahnya, kemungkinan besar sebab kegiatan online-nya.
\\”Kalau anak muda mempunyai hak atas hiburan dan berbagi konten di akun mereka,” kata saudara laki-laki Sawadi, Amir, terhadap DW. \\”Ini yakni kehidupan pribadi mereka.\\”
Selama setahun terakhir, dua tokoh media sosial lain dibunuh, salah seorangnya yakni seorang transgender yang dikenal sebagai Simsim dan Noor Alsaffar, serta gemar memposting video dirinya dalam baju perempuan.
\\”Sejarah memperlihatkan terhadap kita bahwa dikala satu klasifikasi menjadi target, karenanya klasifikasi rentan lainnya akan menjadi target selanjutnya,” kata Kado.
\\”Kalau Anda mengizinkan pelaku pelanggaran hak asasi manusia mengambil tindakan tanpa akuntabilitas, mereka akan betindak lebih. Pada titik tertentu, sudah telat untuk menghentikan mereka.”