Mengenal Tentang Wisata Pinus Pengger Dlingo di Yogyakarta

Di Yogyakarta, salah satu tempat wisata yang menjadi ikon swafoto adalah slot gacor depo 10k Hutan Pinus Pengger. Namun, wanawisata ini sebenarnya menyimpan keindahan yang hidup. YogYes mewawancarai seniman pembuatnya untuk melengkapi tulisan ini.

Tiket Masuk Hutan Pinus Pengger 2018
Rp 2.500

Jam Buka Hutan Pinus Pengger
Senin – Minggu: pukul 06.00 – 23.00 WIB

Tiket Masuk Pancarwara 2018
Sukarela
Tiket Masuk Masuk Sabrang Anindha 2018
Sukarela

“Waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang,” tulis Sapardi. Matahari juga di belakang saya hari itu, tetapi saya berkendara ke tenggara Yogyakarta. Sepanjang jalan, adegan psychadelic Doctor Strange terbayang di kepala saya lebih lambat, lebih lembut, tetapi dengan intensitas yang tidak begitu berbeda: KFC berganti sate kambing berganti street food bukit bintang; gedung-gedung lalu gardu-gardu lalu bukit bersemburat jingga bak tangga naik ke surga. Saya berangkat dari pusat Kota Yogyakarta pukul empat sore dengan niat utama ingin menikmati senja dari Pengger, nama yang kebetulan berarti “tempat untuk melihat”. Pukul lima lebih lima menit, saya sudah berdiri di gerbang Hutan Pinus Pengger menghadap pinus yang menjulang sampai jauh.

Mulanya, hutan pinus yang tumbuh di punggung bukit ini adalah hutan produksi biasa. “Sekitar tahun 2012,” jelas Mas Sumar, Kepala Pengelola Hutan Pinus Pengger . Setelah dua tahun berjalan, produksi getah pinus berhenti pada tahun 2014 dan vakum selama dua tahun. Namun pada tahun 2016, atas inisiatif warga, hutan ini kembali difungsikan, kali ini sebagai wanawisata yang menjadi cikal bakal Pengger yang sekarang.

Menapak di antara warung jajanan dan parkiran motor, hal pertama yang menangkap mata saya adalah peta kawasan ini. Di peta hijau berukuran dua kali dua meter itu, terlihat bahwa kawasan ini memang dikembangkan secara terencana menjadi sebuah tempat wisata. Fasilitas yang ditawarkan lengkap, mulai dari tempat makan dan jajan, tempat ibadah, tempat swafoto, aula pertemuan, sampai tempat berkemah. Rencana ini terbilang sukses menarik perhatian masyarakat luas. Sekarang, Pengger dikunjungi oleh beribu wisatawan tiap harinya. Data dari Sekertariat Hutan Pengger, seperti yang dilansir dari satujiwa.dutadamai.id, menunjukkan bahwa rata-rata pengunjung harian kawasan ini berkisar pada angka 2000 orang. Di samping itu, kesimpulan yang sama dapat ditarik dari jumlah hashtag #pinuspengger di Instagram dan jumlah tautan di google yang masing-masing sudah mencapai 24.300 foto dan 133.000 tautan.

Saya melangkah lagi. Tapak bebatuan dan tanah berundak berbentuk persegi yang mendaki di antara batang pinus menuntun saya sampai pada Asuma Padukarasa, satu dari enam karya land art yang ada di Pengger. Terbuat utamanya dari ribuan reranting lentur tanaman saliara (Lantana camara) yang disilangkan atau dipilin, karya ini berbentuk dasar sebuah gapura. Karya ini bisa dibilang menjadi gerbang spiritual bagi mereka yang mengunjungi Pengger sebab ia memang mencoba mendramatisir momen ketika pengunjung meninggalkan sejenak hingar-bingar kota dan masuk ke dalam tenangnya hutan untuk kembali melihat dan peduli pada alam.

Kelima karya seni lainnya juga memuat pesan mulia sejenis ini. Sabrang Anindha, berbentuk dasar dua gubuk kerucut berhadapan yang atapnya menyatu, berpesan agar kita peduli pada sesama. Marmati, yang berbentuk kubus tumpul dengan atap prisma berpesan bahwa semua manusia pasti pernah takut terhadap kematian. Pancarwara, berbentuk dasar tangan manusia, berpesan agar kita melindungi elemen-elemen alam untuk anak cucu kita. Sementara itu, Cetta Abhipraya yang berbentuk dasar tumpeng berpesan agar kita bersungguh-sungguh menuntut dan dermawan membagi ilmu. Akhirnya, Reresik Jagat, yang berbentuk dasar sapu, mengingatkan kita untuk selalu menjaga kebersihan alam raya. Hampir semua pengertian ini mudah didapatkan, entah karena senimanya menjelaskan dengan lengkap atau karyanya sendiri yang memang mudah diartikan; pengunjung tidak perlu berpusing-pusing.

Wisnu Ajitama adalah orang yang bertanggungjawab menciptakan keenam karya di atas. Setelah baru saja menyelesaikan projek land art-nya yang lain menggunakan medium batu, secara kebetulan pada tahun 2017 ia berkunjung ke Pengger. “Saya diajak teman saya untuk say hello dengan teman lain di sana,” jelas Wisnu dengan aksen Jawanya. Sesampai di Pengger dan melihat bebatuan di sana, ia mendapatkan ide untuk membuat karya baru. Dengan proses yang panjang, mulai dari perancangan, riset bahan, mediasi masyarakat, dan pembuatan secara gotong-royong, dorongan awal pria yang mengaku terinspirasi dari karya sastra ini akhirnya terealisasi di tahun yang sama. Dimulai dengan pameran karyanya yang berjudul Land Art Run Think Raket, lalu Telek Rencek-Recek, sampai akhirnya menjadi daya tarik utama destinasi wisata Pengger yang terkenal sekarang ini.

Karya Wisnu terutama menarik bagi mereka yang senang mencari titik swafoto. Hal ini, selain karena karya itu sendiri, juga karena penempatan beberapa karya yang langsung menghadap lembah membuat hasil foto menjadi instagenic. Apalagi bila foto diambil petang hari saat lampu-lampu kota di bawah sana dan senja di atas sedang indah-indahnya. Tetapi banyak yang tidak tahu, karya-karya di Pengger menarik karena hal lain juga. Pertama, keenam karya yang sudah dijelaskan di atas tidak terbuat dari benda mati, tetapi tumbuhan yang masih hidup sampai sekarang. Hal ini menjadi alasan mengapa bentuk karya yang ada di Pengger tidak semuanya mirip dengan rancangan awalnya. Cetta Abhipraya, misalnya, awalnya hanya berbentuk prisma dengan lingkaran di tengahnya. Akibat pertumbuhan saliara yang menjadi bahan utamanya, sekarang terdapat bagian yang berbentuk garpu bengkok di sebelah kiri. Hal lain yang menarik adalah proses pembuatan setiap karya yang melibatkan tidak hanya seniman utamanya, tetapi juga masyarakat sekitar dan banyak kelompok dari luar dunia kesenian lainnya.

Bagaimana dengan niat awal saya? Saat berada di bagian Cetta Abhipraya, saya menuju tepi bukit yang dipagari bebatang pohon sebagai pengaman. Menghadap hamparan hutan tepat di bawah dan lampu-lampu kota di bawahnya lagi, merasakan angin yang berembus, mendengar pinus yang bergesek karena angin yang mulai mengencang, saya mendapatkan apa yang saya cari sejak awal: simfoni warna senja.

WhatsApp WhatsApp Us 24/7